Saturday, June 2, 2012

TNI AL Adakan Musabaqoh Hifdzi Qur`an di Cilangkap

JAKARTA (Pos Kota) –
Untuk meningkatkan kemampuan menghafal prajuritnya, TNI Angkatan Laut mengadakan Musabaqah Hifdzil Quran (MHQ)/lomba menghafal Al Qur’an yang diselenggarakan Dinas Perawatan Personel Angkatan Laut (Diswatpersal) di Auditorium Yos Sudarso Detasemen Markas (Denma) Mabesal Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (28/7). Lomba menghafal Al Qur’an diikuti 36 orang yang terdiri dari 21 orang hasil seleksi Kotama TNI AL Wilayah Barat dan 15 orang dari Kotama TNI AL Wilayah Timur yang terdiri dari Perwira, Bintara, Tamtama, PNS sederajat dan Jalasenastri, dengan rincian Kategori 30 Juz diikuti oleh satu orang Perwira, Kategori 20 Juz diikuti oleh satu orang Bintara, kategori 10 Juz diikuti oleh satu orang Tamtama, Kategori 5 Juz diikuti oleh satu orang Perwira, satu Orang Bintara, dan dua orang Tamtama. Serta kategori 1 Juz diikuti oleh dua orang Perwira, tujuh orang Bintara, sembilan orang Tamtama, tujuh orang PNS dan empat orang anggota Jalasenastri.

Menurut Ketua Panitia Lomba MHQ Kolonel Laut (KH) Hasbullah Ahmad kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan untuk meningkatkan motivasi dalam menghafal Alquran dan menyiapkan pelaksanaan MHQ tingkat TNI dan tingkat Internasional Akademi Bersenjata di Arab Saudi. Lomba ini terdiri dari lima kategori yaitu hafalan 30 juz, hafalan 20 Juz, Hafalan 10 Juz, Hafalan 5 Juz, dan hafalan 1 Juz (Juz 1 atau juz 30). Dengan kriteria penilaian lomba yaitu Hafalan,Bacaan (lagu), Tajwid, Makhorijul huruf, dan Adabu Tilawah (penampilan).

 “Pemenang dalam lomba ini akan mendapatkan Trophy tetap, uang pembinaan, piagam dan untuk pemenang kategori 5,10,20 dan 30 Juz akan diusulkan mendapat kesempatan ibadah haji/umrah melalui bantuan dinas serta khusus anggota militer akan diusulkan mengikuti MHQ tingkat TNI dan tingkat Internasional antar angkatan bersenjata di Arab Saudi,” kata Kolonel Laut (KH) Hasbullah Ahmad menambahkan. Tampak dalam gambar, seorang peserta lomba, Letda Laut (KH) Makarim Umar, saat membacakan hafalan Quran Surat Annisa kategori 30 Juz.


Di TNI AL, 1 Hari 1 Juz

Tidak banyak prajurit TNI yang mampu menghafal Alquran. Satu dari ribuan prajurit matra laut yang langka itu adalah Letda Laut (P) Makarim Umar. Makin istimewa lantaran di usianya yang baru menginjak 28 tahun pada 23 Agustus nanti, dia sudah menghafal hingga 30 juz. Tidak berlebihan memang jika menyebut Makarim sebagai prajurit langka di lingkungan TNI AL.

Berkaca pada lomba Musabaqah Hifdzil Quran (MHQ) yang diselenggarakan Dinas Perawatan Personel Angkatan Laut (Diswatpersal) Juli lalu, hanya 36 personel yang berani mencoba menunjukkan kemampuannya dalam menghafal firman Allah tersebut. Dalam lomba itu, nama Letda Makarim keluar sebagai juara MHQ untuk kategori 30 juz.

Kemenangan itu menambah panjang daftar prestasinya dalam lomba menghafal Alquran. Sebab, awal Maret dia mengikuti kompetisi MHQ internasional di Arab Saudi. “Hanya dapat penghargaan peringkat delapan,” ujarnya. Bisa jadi, hingga saat ini lomba MHQ yang digelar di Arab Saudi tersebut adalah pengakuan tertinggi tentang kemampuannya. Sebab, dia dipercaya untuk mewakili Indonesia di kompetisi internasional bersama tiga orang prajurit lain. Meski kompetisi tersebut terbatas pada para prajurit, tetap saja membanggakan. “Saingannya prajurit muslim negara lain,” kenangnya.

Bagi Makarim, menjadi seorang hafidz dan tentara adalah sesuatu yang kadang kurang bisa dikompromikan. Maklum, sejak memutuskan begabung menjadi prajurit penjaga laut 2009 lalu, kemampuan menghafalnya suka berkurang. Padatnya aktifitas diawal karir harus membuatnya rela kehilangan hafalan beberapa surat Alquran. Dia mengatakan sejak masuk militer tanggungannya semakin berat. Sebab, dia memiliki kewajiban untuk menjalankan tugas sebagai prajurit juga. Oleh sebab itu, untuk mau menambah hafalannya pun harus dia pikirkan baik-baik. “Di militer memang lebih lupa. Menjaga saja berat, mau nambah jadi pikir-pikir,” imbuhnya.

 Dia menggambarkan, awal masuk militer sebenarnya dia sudah menghafal 20 juz. Namun, saat itu yang bisa dikatakan benar-benar lancar ada sampai 10 juz saja. Nah, sibuk latihan dan hidup yang serba teratur membuat hafalan itu suka naik turun. Beberapa ayat yang dulu samar-samar hafal malah hilang sepenuhnya. Meski demikian, semua itu dia jadikan tantangan. Tekatnya, jangan sampai hafalan itu semakin lama semakin tergerus. Meski kesibukan kadang membuat istiqamahnya naik turun, dia tetap ingin bisa menghafal Alquran. Mau tidak mau, setiap hari dia harus membaca kitab suci itu dalam meski harus “mencuri waktu”. Setiap ada waktu luang, dia coba untuk membaca Alquran.

Malam hari adalah waktu yang kerap dia pilih untuk membaca. Sedikitnya, dalam satu hari pria asli Purworejo Jawa Tengah itu harus bisa membaca satu juz. Meski sebenarnya itu tidak cukup karena idealnya satu hari adalah lima juz. “Karena situasinya begini, bisa satu juz sudah Alhamdulilah,” katanya. Kegigihannya untuk bisa membagi waktu tersebut berbuah hasil. Hafalan yang kedodoran diawal masuk militer terus diperbaiki. Akhirnya, Makarim berhasil memenangi juara MHQ untuk kategori 30 juz.

“Meski sulit, beban moral untuk menjaga hafalan itu ada. Termasuk beban menambah,” terangnya. Menjadi hafidz juga berdampak pada kehidupan sehari-hari. Secara otomatis sikapnya harus dijaga. Jangan sampai predikatnya sebagai penghafal Alquran rusak karena perilakunya yang kurang terpuji. Yang paling sulit adalah untuk menjaga agar salatnya tetap bisa terjaga lima kali dan tepat waktu. Tidak peduli padatnya aktivitas ataupun kegiatan latihan. Makarim ngotot harus bisa salat tepat waktu. Beruntung, sejauh ini kegiatan militer tidak pernah membuatnya meninggalkan salat fardhu. Soal ketepatan waktu salat Makarim juga tidak perlu diragukan. “Selama ini, masih bisa tepat waktu,” tuturnya. Flashback kebelakang, Makarim mengatakan kemampuan menghafalnya sudah muncul sejak kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Alquran An Nur Jogjakarta. Tepatnya, saat semester IV mulai berjalan dan diawali dengan menghafal surat Al Baqarah. “Lulus kuliah sebenarnya sudah hafal 20 juz. Tetapi yang benar-benar lancar sekitar 10 juz,” jelasnya.


Filosofi Pedang Pora

Pedang Pora Lelaki-lelaki, dengan tubuh tegap, seragam militer, dan muka serius, berdiri berjejer di atas bentangan karpet merah. Di pinggang kiri mereka, terselampir sebuah pedang. Lumayan panjang, tapi tak terlalu lebar. Dibungkus sarung logam berwarna perak, pedang itu tampak anggun. Beberapa saat lamanya, lelaki-lelaki itu berada dalam posisi yang sama: pandangan mata tegak ke depan, kaki tegap agak terbuka, dan telapak tangan bertemu di belakang tubuh. Agaknya mereka menunggu sesuatu, mungkin aba-aba. Tapi aba-aba bukanlah yang mereka tunggu hakekatnya. Sebab, aba-aba toh masih harus menunggu yang lain: momen, situasi, kedatangan seseorang, atau aba-aba yang lain. Beberapa lelaki sejenis, tampak sibuk ke sana kemari. Agaknya menanti sesuatu, agaknya menyiapkan sesuatu.

Ketika tiba seseorang yang berjas, didampingi seorang perempuan dengan gaun yang mewah, lelaki-lelaki berseragam militer itu berubah posisi. Menjadi berdiri tegap, kaki rapat, dan tangan diangkat sedemikian rupa sehingga sisi samping jari telunjuk mereka menyentuh dahi. Lalu orang yang berjas tadi, berjalan sambil memposisikan tangan sama dengan lelaki-lelaki itu. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki lain, berseragam militer tanpa baret, memakai kalungan bunga melati di lehernya, dan menggandeng seorang perempuan dengan gaun hijau yang menjuntai hingga ke lantai, masuk.

Seketika aba-aba riuh diperdengarkan. Dan lelaki-lelaki berseragam militer itu seketika berubah posisi. Salah seorang dari mereka maju, menghadap si lelaki yang memakai kalung melati di lehernya. Lalu percakapan singkat terjadi, dalam bahasa militer. Lelaki-lelaki berseragam militer itu berubah posisi lagi. Pedang yang menggantung di pinggang kiri mereka, dihunus. Lalu pedang-pedang itu dimoncongkan ke depan dengan posisi agak menurun. Lelaki berkalung melati dan si perempuan, berjalan pelan-pelan menuju rangkaian pedang yang menghadang jalan di depan mereka.

Perlahan-perlahan, pedang yang menghadang jalan itu diangkat naik seiring jalan lelaki berkalung melati dan si perempuan. Dengan gerakan yang sedemikian rupa sehingga pedang-pedang terhunus itu bisa lewat di atas kepala pasangan itu, tanpa menyentuh sehelai rambut pun. Demikian, adegan itu diulang beberapa kali karena memang ada beberapa pedang yang dijejer. Prosesi di atas adalah prosesi yang sering disebut sebagai “Pedang Pora”. Sebuah tradisi di kalangan militer bila ada salah satu anggota mereka melangsungkan pernikahan. Sebuah tradisi wajib yang telah turun-menurun, katanya.

Ada banyak simbol dalam ritual itu. Melambangkan persaudaraan, solidaritas, permohonan perlindungan pada Tuhan, dan entah apa lagi. Upacara itu sebenarnya simple, tapi bagaimanapun juga prosesi itu tetap mengundang decak orang-orang awam. Saya saksikan upacara itu dalam sebuah gedung pertemuan lantai dua yang disesaki oleh tamu dengan berbagai lintas umur. Meski berasal dari asal yang jauh berbeda, para tamu itu menyikapi acara itu dengan sebuah tabiat yang sama: anteng, konsentrasi, dan hampir tanpa omongan. Agaknya momen langka itu tak hendak dilepas begitu saja. Juru foto dan kamera pun menjadikan prosesi itu sebagai lahan jepretan yang tak sudah-sudah. Pedang Pora adalah sebuah tradisi. Tapi sebagai tradisi, ia tak identik dengan nilai “tradisional”. Itu terlihat dengan tak dibenturkannya nilai-nilai itu dengan jaman yang kian jadi modern. Buktinya, Pedang Pora bisa berlangsung di manapun. Di jaman yang bagaimanapun. Hari itu, prosesi yang penuh filosofi itu berlangsung di antara sekian deret benda-benda yang bisa jadi simbol hidup kaum urban: ruang pertemuan yang artistik, jepretan kamera foto dan sorot dari kamera video, gaun-gaun pesta yang menarik, dandanan yang penuh polesan, dan tutur basa-basi yang penuh kesopanan. Juga, berlimpah hidangan yang tersaji dengan indah di atas meja-meja yang berderet. Dan setahu saya, tak ada masalah dalam pertemuan antara yang “tradisi” dengan yang “modern” saat itu. Semua saling menenggang rasa.

Tapi, agaknya yang “tradisi” hanya selintas, itupun tidak penuh. Saat prosesi Pedang Pora belum mulai dan para prajurit masih berdiri dalam posisi “istirahat di tempat”, seorang prajurit melirik sambil berbisik pada rekannya yang kebagian jadi juru foto: “Sssst, foto!” Lalu prajurit yang jadi juru foto itu mengambil gambar satui demi satu rekan-rekannya yang sedang berdiri mematung itu. Saya tak tahu, dalam kondisi “istirahat di tempat”, bolehkah seorang prajurit minta diambil gambarnya. Yang jelas, agaknya yang “tradisi” makin tergantung pada yang “modern”. Ia tak mampu mengelak dari godaan “ke-modern-an” yang sebenarnya masih patut dipertanyakan nilai-nilainya.

Tapi di jaman ini, orang tak berpikir tentang nilai. Makanya, saya pun berpikir: kalau yang “tradisi” makin bergantung pada yang “modern”, adakah yang “modern” pun bergantung pada “tradisi”? Dalam arti filosofis, mungkin tidak. Sebab, meski pesta pernikahan yang saya hadiri beberapa hari lalu itu masih menggelar Pedang Pora, saya sanksi apakah ritual itu digelar demi “nilai” atau demi “bentuk”. Meski berbagai “nilai” yang terkandung dalam ritual itu berusaha dijabarkan dengan pengeras suara, adakah “nilai” itu bisa diserap dan dihayati oleh mempelai, apalagi oleh hadirin? Saya benar-benar ragu. Sebab keterpesonaan para hadirin pada Pedang Pora, bagi saya, lebih dekat pada keterpesonaan terhadap “bentuk”. Mungkin terpukau oleh pedang-pedang berkilat, sosok yang gagah, ataupun karena ritual itu asing dan tak pernah mereka lihat. Lalu di mana pembicaraan soal “nilai”? Mungkin hanya ada di mulut pembawa acara ritual itu. Akhirnya, di tengah yang “modern”, “tradisi” memang hanya selintas dan juga tak hadir secara penuh.

Ia ditampilkan karena ada unsur menarik dalam “bentuk”-nya, atau untuk menjadi simbol kebanggan dari sebuah komunitas tertentu. Seperti dalam prosesi “siraman” dalam tradisi Jawa yang dilaksanakan di gedung mewah dengan jepretan kamera dan rekaman video yang sekarang jadi simbol “kebanggaan” keturunan ningrat. Hari itu, setelah Pedang Pora selesai, saya makin yakin kalau para hadirin tak lagi terpesona pada “nilai”, pada “filosofi”. Sebab, ketika tiba acara berdoa untuk mempelai, sebagian besar hadirin yang terlanjur menyentuh hidangan, seakan enggan ikut berdoa dan memilih mengahabiskan makanan yang ada di depan mereka. Padahal, apa hakekatnya menghadiri sebuah resepsi pernikahan: mendoakan mempelai, menyantap makanan, atau untuk menggaet anggota TNI?



8 Wajib TNI

1. Bersikap ramah tamah terhadap rakyat

2. Bersikap sopan santun terhadap rakyat

3. Menjunjung tinggi kehormatan wanita

4. Menjaga kehormatan diri dimuka umum

5. Senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaannya

6. Tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat

7. Tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat

8. Menjadi contoh dan mempelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya


Jenjang Kepangkatan TNI

TNI Angkatan Laut

PERWIRA 
Perwira Tinggi
Laksamana
Laksamana Madya
Laksamana Muda
Laksamana Pertama

Perwira Menengah
Kolonel
Letnan Kolonel
Mayor

Perwira Pertama
Kapten
Letnan satu
Letnan Dua

BINTARA 
Bintara Tinggi
Pembantu Letnan Satu
Pembantu Letnan Dua

Bintara
Sersan Mayor
Sersan Kepala
Sersan Satu
Sersan Dua

TAMTAMA 
Tamtama Kepala
Kopral
Kopral Satu
Kopral Dua

Tamtama 
Kelasi Kepala
Kelasi Satu
Kelasi Dua




TNI Angkatan Udara  

PERWIRA 
Perwira Tinggi
Marsekal
Marsekal Madya
Marsekal Muda
Marsekal Petama

Perwira Menengah 
Kolonel
Letnan Kolonel
Mayor

Perwira Pertama
Kapten
Letnan satu
Letnan Dua

BINTARA
Bintara Tinggi
Pembantu Letnan Satu
Pembantu Letnan Dua

Bintara
Sersan Mayor
Sersan Kepala
Sersan Satu
Sersan Dua

TAMTAMA
Tamtama Kepala 
Kopral
Kopral satu
Kopral Dua

Tamtama
Prajurit Kepala
Prajurit Satu
Prajurit Dua


TNI Angkatan Darat

PERWIRA 
Perwira Tinggi
Jendral
Letnan Jendral
Mayor Jendral
Brigadir Jendral

Perwira Menengah 
Kolonel
Letnan Kolonel
Mayor

Perwira Pertama 
Kapten
Letnan satu
Letnan Dua

BINTARA 
Bintara Tinggi 
Pembantu Letnan Satu
Pembantu Letnan Dua

Bintara 
Sersan Mayor
Sersan Kepala
Sersan Satu
Sersan Dua

TAMTAMA 
Tamtama Kepala 
Kopral
Kopral satu
Kopral Dua

Tamtama 
Prajurit Kepala
Prajurit Satu
Prajurit Dua


Sapta Marga

SAPTA MARGA

1. Kami warga negara kesatuaan republik indonesia yang bersendikan pancasila

2. Kami patriot indonesia pendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah

3. Kami kesatria Indonesia, yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa seerta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan

4. Kami prajurit Tentara Nasional Indonesia adalah bhayangkari negara dan bangsa Indonesia

5. kami prajurit Tentara Nasional Indonesia menjunjung teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan prajurit

6. kami prajurit tentara nasional indonesia, mengutamakan keperwiraan didalam melaksanakan tugas serta senantiasa siap sedia berbakti kepada negara dan bangsa

7. kami prajurit tentara nasional indonesia setia dan menepati janji serta sumpah prajurit


Puisi Pedang Pora

PUISI PEDANG PORA

( Saat Melewati Gapura Pedang )
(PRIA)

Saat ini syahdu bagi dua hati..
Saat ini syahdu bagi dua insan..
Kami insan-insan bahari berbaju putih..
Berdiri tegak.. pandang seorang kawan..
Lalui tengah-tengah pedang yang berbentuk gapura..

Kawan..
Lihatlah..
Kami adalah kawanmu angkatan muda..
Bersama kami berdiri tegak..
Sanak keluarga dan handai taulan..
Disini pula berdiri insan yang pernah melahirkan engkau..
Ayah.. Bunda..
Saat ini kami semua menjadi saksi..
Saat engkau berdua memngikat janji..
Sehidup.. Semati..


(Saat melewati Gapura Pedang )
(WANITA)

Kawan..
Saat ini kami melepas dikau…
Tulus ikhlas..
Saksikan dikau pergi..
Tinggalkan dunia kita yang usang..
Tuju duniamu yang baru..
Penuh kebulatan tekad sehati..
Tersenyum tanda bahagia..
Kami percaya..
Inilah wujud kisah kasih yang indah..


 SAJAK PAYUNG PORA..
 (PRIA)

Adik..
Kita tandai dengan pedang ini..
Pedang “sakti pusaka wira samudra”..
Berarti…
Sejak saat ini..
Hidupmu adalah hidupku jua..
Di pundak ku pikul suatu tugas..
Tugas suci prajurit samudra..
Itu semua kini adalah milikmu jua..

(WANITA)..

Ya Tuhan…
Limpahkanlah kepada kami keteguhan iman..
Tunjukkanlah kepada kami jalan hidup yang benar..
Jadikanlah kehidupan kami ini..
 Kehidupan yang berguna..
Semoga berbahagialah hidup kami..
Aamiin.. Aamiin.. Aamiin….