Saturday, June 2, 2012

Filosofi Pedang Pora

Pedang Pora Lelaki-lelaki, dengan tubuh tegap, seragam militer, dan muka serius, berdiri berjejer di atas bentangan karpet merah. Di pinggang kiri mereka, terselampir sebuah pedang. Lumayan panjang, tapi tak terlalu lebar. Dibungkus sarung logam berwarna perak, pedang itu tampak anggun. Beberapa saat lamanya, lelaki-lelaki itu berada dalam posisi yang sama: pandangan mata tegak ke depan, kaki tegap agak terbuka, dan telapak tangan bertemu di belakang tubuh. Agaknya mereka menunggu sesuatu, mungkin aba-aba. Tapi aba-aba bukanlah yang mereka tunggu hakekatnya. Sebab, aba-aba toh masih harus menunggu yang lain: momen, situasi, kedatangan seseorang, atau aba-aba yang lain. Beberapa lelaki sejenis, tampak sibuk ke sana kemari. Agaknya menanti sesuatu, agaknya menyiapkan sesuatu.

Ketika tiba seseorang yang berjas, didampingi seorang perempuan dengan gaun yang mewah, lelaki-lelaki berseragam militer itu berubah posisi. Menjadi berdiri tegap, kaki rapat, dan tangan diangkat sedemikian rupa sehingga sisi samping jari telunjuk mereka menyentuh dahi. Lalu orang yang berjas tadi, berjalan sambil memposisikan tangan sama dengan lelaki-lelaki itu. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki lain, berseragam militer tanpa baret, memakai kalungan bunga melati di lehernya, dan menggandeng seorang perempuan dengan gaun hijau yang menjuntai hingga ke lantai, masuk.

Seketika aba-aba riuh diperdengarkan. Dan lelaki-lelaki berseragam militer itu seketika berubah posisi. Salah seorang dari mereka maju, menghadap si lelaki yang memakai kalung melati di lehernya. Lalu percakapan singkat terjadi, dalam bahasa militer. Lelaki-lelaki berseragam militer itu berubah posisi lagi. Pedang yang menggantung di pinggang kiri mereka, dihunus. Lalu pedang-pedang itu dimoncongkan ke depan dengan posisi agak menurun. Lelaki berkalung melati dan si perempuan, berjalan pelan-pelan menuju rangkaian pedang yang menghadang jalan di depan mereka.

Perlahan-perlahan, pedang yang menghadang jalan itu diangkat naik seiring jalan lelaki berkalung melati dan si perempuan. Dengan gerakan yang sedemikian rupa sehingga pedang-pedang terhunus itu bisa lewat di atas kepala pasangan itu, tanpa menyentuh sehelai rambut pun. Demikian, adegan itu diulang beberapa kali karena memang ada beberapa pedang yang dijejer. Prosesi di atas adalah prosesi yang sering disebut sebagai “Pedang Pora”. Sebuah tradisi di kalangan militer bila ada salah satu anggota mereka melangsungkan pernikahan. Sebuah tradisi wajib yang telah turun-menurun, katanya.

Ada banyak simbol dalam ritual itu. Melambangkan persaudaraan, solidaritas, permohonan perlindungan pada Tuhan, dan entah apa lagi. Upacara itu sebenarnya simple, tapi bagaimanapun juga prosesi itu tetap mengundang decak orang-orang awam. Saya saksikan upacara itu dalam sebuah gedung pertemuan lantai dua yang disesaki oleh tamu dengan berbagai lintas umur. Meski berasal dari asal yang jauh berbeda, para tamu itu menyikapi acara itu dengan sebuah tabiat yang sama: anteng, konsentrasi, dan hampir tanpa omongan. Agaknya momen langka itu tak hendak dilepas begitu saja. Juru foto dan kamera pun menjadikan prosesi itu sebagai lahan jepretan yang tak sudah-sudah. Pedang Pora adalah sebuah tradisi. Tapi sebagai tradisi, ia tak identik dengan nilai “tradisional”. Itu terlihat dengan tak dibenturkannya nilai-nilai itu dengan jaman yang kian jadi modern. Buktinya, Pedang Pora bisa berlangsung di manapun. Di jaman yang bagaimanapun. Hari itu, prosesi yang penuh filosofi itu berlangsung di antara sekian deret benda-benda yang bisa jadi simbol hidup kaum urban: ruang pertemuan yang artistik, jepretan kamera foto dan sorot dari kamera video, gaun-gaun pesta yang menarik, dandanan yang penuh polesan, dan tutur basa-basi yang penuh kesopanan. Juga, berlimpah hidangan yang tersaji dengan indah di atas meja-meja yang berderet. Dan setahu saya, tak ada masalah dalam pertemuan antara yang “tradisi” dengan yang “modern” saat itu. Semua saling menenggang rasa.

Tapi, agaknya yang “tradisi” hanya selintas, itupun tidak penuh. Saat prosesi Pedang Pora belum mulai dan para prajurit masih berdiri dalam posisi “istirahat di tempat”, seorang prajurit melirik sambil berbisik pada rekannya yang kebagian jadi juru foto: “Sssst, foto!” Lalu prajurit yang jadi juru foto itu mengambil gambar satui demi satu rekan-rekannya yang sedang berdiri mematung itu. Saya tak tahu, dalam kondisi “istirahat di tempat”, bolehkah seorang prajurit minta diambil gambarnya. Yang jelas, agaknya yang “tradisi” makin tergantung pada yang “modern”. Ia tak mampu mengelak dari godaan “ke-modern-an” yang sebenarnya masih patut dipertanyakan nilai-nilainya.

Tapi di jaman ini, orang tak berpikir tentang nilai. Makanya, saya pun berpikir: kalau yang “tradisi” makin bergantung pada yang “modern”, adakah yang “modern” pun bergantung pada “tradisi”? Dalam arti filosofis, mungkin tidak. Sebab, meski pesta pernikahan yang saya hadiri beberapa hari lalu itu masih menggelar Pedang Pora, saya sanksi apakah ritual itu digelar demi “nilai” atau demi “bentuk”. Meski berbagai “nilai” yang terkandung dalam ritual itu berusaha dijabarkan dengan pengeras suara, adakah “nilai” itu bisa diserap dan dihayati oleh mempelai, apalagi oleh hadirin? Saya benar-benar ragu. Sebab keterpesonaan para hadirin pada Pedang Pora, bagi saya, lebih dekat pada keterpesonaan terhadap “bentuk”. Mungkin terpukau oleh pedang-pedang berkilat, sosok yang gagah, ataupun karena ritual itu asing dan tak pernah mereka lihat. Lalu di mana pembicaraan soal “nilai”? Mungkin hanya ada di mulut pembawa acara ritual itu. Akhirnya, di tengah yang “modern”, “tradisi” memang hanya selintas dan juga tak hadir secara penuh.

Ia ditampilkan karena ada unsur menarik dalam “bentuk”-nya, atau untuk menjadi simbol kebanggan dari sebuah komunitas tertentu. Seperti dalam prosesi “siraman” dalam tradisi Jawa yang dilaksanakan di gedung mewah dengan jepretan kamera dan rekaman video yang sekarang jadi simbol “kebanggaan” keturunan ningrat. Hari itu, setelah Pedang Pora selesai, saya makin yakin kalau para hadirin tak lagi terpesona pada “nilai”, pada “filosofi”. Sebab, ketika tiba acara berdoa untuk mempelai, sebagian besar hadirin yang terlanjur menyentuh hidangan, seakan enggan ikut berdoa dan memilih mengahabiskan makanan yang ada di depan mereka. Padahal, apa hakekatnya menghadiri sebuah resepsi pernikahan: mendoakan mempelai, menyantap makanan, atau untuk menggaet anggota TNI?



No comments:

Post a Comment